Posted in Friendship, Life, Oneshot, T, [1st] Cheer Your Dream Up

[Cheer Your Dream Up] Until The Last – Oneshot

until-the-last-pic

Judul : Until The Last

Nama Author : Gecee

Genre : Friendship, Slice-of-Life

Length : Oneshot

Rating : T

Cast : TWICE’s Jihyo (main cast), with other TWICE members as the supporting casts

Disclaimer : The cast(s) aren’t mine. They are belong to God, their family, and their agency. I just own the story line

 

Summary : Impian Jihyo sejak kecil adalah menjadi atlit voli, tetapi sayangnya penyakitnya membuat ia harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Akankah Jihyo bisa mendapat setidaknya satu kesempatan untuk mewujudkan impiannya?

 

Until The Last

 

Jihyo melemparkan handuk lembab yang ia gunakan untuk menghapus keringat ke keranjang tempat pakaian kotor. Dirapikannya poni yang sedikit lepek akibat keringat dengan sebuah sisir plastik. Gadis itu memandangi pantulan bayangannya lewat cermin yang tergantung di pintu loker. Setelah merasa poninya tidak terlalu berantakan, Jihyo menutup pintu lokernya.

“Teman-teman,” serunya. “Cepat bersih-bersihnya. Kita harus review dulu sebelum pulang.”

Ne, leader-nim!” balas Dahyun di ujung ruangan dengan sebuah seruan pula.

Dalam kurun waktu lima menit seluruh timnya telah berkumpul di satu-satunya kursi panjang yang ada di ruang ganti pakaian itu. Tak semua anggota duduk di kursi, ada pula yang duduk di bawah. Intinya, semua member mengerumuni sang leader yang duduk di kursi.

“Permainan hari ini sudah bagus,” ujar JIhyo memulai review-nya. “Hanya saja untuk kecepatan kita harus berlatih lebih lagi. Sana eonni,” Jihyo menunjuk gadis jepang yang sedang mengikat tali sepatunya, “akan lebih baik jika responmu terhadap datangnya bola ditingkatkan. Saat permainan tadi aku perhatikan ada saat dimana kau tak menyadari datangnya bola, dan itu membuat tim lawan dapat mencetak skor. Hal itu sangat disayangkan, eonni.”

Sana menganggukkan kepala. “Okay.”

“Son Chaeyoung. Coba cari posisi tangan serta arah pukulan yang baik agar servismu lebih sempurna. Oh ya, tenaga pada pukulanmu sepertinya harus ditambah agar jarak pukulan semakin jauh.”  Jihyo terdiam sejenak, menatap anggota timnya satu per satu, sambil benaknya berpikir hal apa lagi yang perlu ia koreksi. “Jungyeon eonni, perhatikan arah saat kau melakukan serangan smash.”

Chaeyoung serta Jungyeon memberikan tanda okay dengan tangannya.

Jihyo menarik napas dalam untuk sejenak. “Baiklah, pertemuan kita hari ini selesai. Ingat, hari pertandingan kita semakin dekat. Kumohon kalian menjaga kesehatan, jangan sampai sakit.Terus berlatih agar permainan kita dapat lebih baik lagi.” Gadis bersurai cokelat gelap itu tersenyum. “Terima kasih untuk kedatangannya hari ini,” tutupnya dengan senyum manis.

Bersamaan dengan itu, satu per satu anggotanya bangkit berdiri dan mengambil peralatan mereka masing-masing, lalu mulai meninggalkan ruangan untuk pulang ke rumah.

Saat Jihyo sedang memasukkan botol minum ke dalam tas olahraganya, seseorang melingkarkan lengan di leher Jihyo. Gadis itu menoleh, mendapatkan Nayeon yang sedang tersenyum jahil ke arahnya. Gadis itu bahkan mendekatkan wajah seolah-olah hendak mencium Jihyo.

“Aku bau keringat, eonni,” ucap JIhyo sambil sedikit mendorong gadis yang lebih tua dua tahun darinya. Bibir Jihyo menyunggingkan sebuah senyum geli, sementara Nayeon mengerucutkan bibir, bertindak sendu bagaikan seseorang yang ditolak cinta. Melihat itu Jihyo tak bisa menahan tawanya. Diberikannya sebuah pelukan pada anggota tertuanya.

Kedua gadis itu melangkahkan tungkai meninggalkan ruangan dengan lengan yang saling melingkari pinggang satu sama lain. Keduanya terlibat dalam percakapan yang menyenangkan, dengan tawa terselip di setiap candaan mereka.

“Hari ini kau ke rumah sakit?” tanya Nayeon saat tawa terbahak-bahaknya telah mereda.

Jihyo menjawabnya dengan sebuah anggukan kepala. “Aku harus melakukan medical check-up,” tambahnya.

Ketika sampai di pintu keluar gedung latihan, Jihyo menyadari ibunya telah munggu di dekat mobil hitamnya. Meski diterpa silaunya terik mentari, gadis itu melihat senyum manis yang terukir di bibir sang ibu.

“Aku sudah dijemput,” ujarnya pada Nayeon disertai lambaian tangan. “Sampai nanti!”

***

Menjadi seorang atlit voli merupakan impian Jihyo sejak kecil. Saat itu Jihyo kecil secara tak sengaja menemukan siaran pertandingan voli saat sedang memindah-mindah saluran tayangan di televisi. Seketika dirinya terabsorp ke dalam tayangan, matanya menatap layar kaca lekat-lekat. Meski saat itu ia tidak mengerti tentang penilaian skor atau bagaimana penentuan siapa yang menang siapa yang kalah, tetapi Jihyo mengambil kesimpulan voli adalah olahraga yang menyenangkan.

Tak hanya berhenti sampai di situ, ia mulai mencari tahu tentang klub olahraga yang menyediakan kursus voli. Saat di sekolah dasar Jihyo sempat mengikuti kursus voli di tempat yang sama dengan sepupunya, tetapi sayangnya harus keluar di tengah jalan akibat jadwalnya yang bentrok.

Untungnya di sekolah menengahnya ada ekstrakurikuler voli. Begitu tahu, dengan semangat Jihyo langsung mendaftarkan diri. Karena permainannya yang dinilai sangat bagus oleh sang pelatih, gadis itu dimasukkan ke dalam tim inti. Bahkan tak butuh waktu lama hingga jabatan kapten tim inti diberikan kepadanya.

Sayangnya, kebahagiaannya tak berlangsung lama. Beberapa bulan menjadi kapten tim voli, ia divonis mengidap kanker paru-paru yang membuatnya harus mengurangi kegiatan dalam ektrakurikuler. Dengan berat hati Jihyo harus meredusi aktivitasnya di tengah lapangan, tetapi ia tidak ingin melepas jabatannya sebagai kapten tim. Setelah melewati beberapa pertimbangan antara dirinya, orang tua, dokter, serta pelatihnya, keinginan Jihyo dikabulkan. Jabatan kapten tim tak perlu sampai dipindahtangankan darinya.

“Sedang mikir apa?” Suara sang ibu membuyarkan benak Jihyo yang sedang mengenang masa lalu. Jihyo buru-buru memasang senyum tidak-ada-apa-apa sambil menggelengkan kepala.

“Nah, coba lihat ini, Jihyo,” kali ini suara dokter pribadinya yang berbicara. Sang dokter menunjukkan dua lembar hasil ronsen paru-paru padanya. “Ada kabar baik serta kabar buruk yang hendak kusampaikan. Mana yang ingin kau dengar terlebih dahulu?”

“Kabar buruk,” jawab Jihyo cepat.

Sang dokter menunjuk salah satu lembaran hasil ronsen. “Sel-sel kankermu sudah mulai memproduksi cairan yang merendam alveolusmu. Itulah yang menyebabkan akhir-akhir ini napasmu terasa sesak.”

“Kabar baiknya?”

“Kabar baiknya adalah proses berkembangnya sel-sel kankermu tergolong lambat. Normalnya bila sudah selama ini paru-parumu sudah seperdelapan bagian terendam. Tetapi ini baru seperenambelas.”

Jihyo menatap sang dokter nanar. Ia tidak tahu apakah kabar baik yang dibawakan beliau benar-benar kabar baik atau hanya sekedar penghiburan saja. Gadis itu tahu keadaannya makin memburuk, dan dengan aktivitasnya sebagai kapten tim, bukan tak mungkin kondisinya akan drop secara tiba-tiba. Ia tak ingin menjadi beban bagi anggotanya, apalagi di tengah hari pertandingan yang makin dekat. Namun, sampai hari itu tiba, dapatkah ia bertahan?

“Dokter,” ujar Jihyo. “Tapi saya masih boleh bertanding voli minggu depan, kan?”

“Bertanding bagaimana?!” balas ibunya cepat, panik. “Kamu mau kondisimu tambah parah, hah?”

Sang dokter menanggapi pertanyaan Jihyo dengan senyum bijak. “Untuk sebaiknya jangan. Kau boleh datang sebagai kapten tim, menyemangati anggotamu dan memberikan penyuluhan, tetapi bukan untuk beraksi di tengah lapangan. Itu janjimu beberapa bulan yang lalu, ingat?”

Ne,” sahut Jihyo seraya menganggukkan kepala.

***

Tak terasa hari pertandingan tiba. Anggota TWICE – nama tim voli mereka – berkumpul di ruang ganti pakaian. Tak bisa dipungkiri, terdapat rasa gugup dan berdebar-debar dalam hati masing-masing, tetapi mereka melawannya dengan saling menyemangati satu sama lain. Sesekali candaan dan tawa terselip dalam percakapan mereka selama melakukan persiapan.

Saat sedang berganti pakaian, pintu besi ruang ganti tiba-tiba dibuka dengan sebuah sentakan keras, menghasilkan suara nyaring ketika pintu tersebut beradu dengan loker kayu. Tampaklah Mina yang sedang berpegangan pada kusen pintu dengan napas terengah-engah.

“Ada apa, eonni?” tanya Jihyo yang cukup kaget akibat suara dentuman keras tadi.

“Gawat!” sahut Mina. “Jungyeon tidak bisa hadir! Ibunya tadi pagi meninggal secara mendadak!”

Seketika suasana menjadi riuh. Semuanya terlihat panik dan bingung dengan berita tersebut. Kegiatan ganti baju terhenti untuk sejenak. Raut kecemasan terpancar dari wajah mereka masing-masing.

“Bagaimana ini?” Tzuyu menggigit bibir bawahnya, cemas. “Siapa yang akan melakukan serangan smash nanti?”

Momo menganggukkan kepala, menyetujui perkataan anggota termuda mereka. “Benar! Di antara kita, Jungyeonlah yang paling pandai dalam serangan smash.”

Jihyo berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak ingin menambah kepanikan anggotanya, sekalipun ia sendiri bingung apa yang harus dilakukan. Ini terlalu mendadak, dan bagaimana menyiasati perubahan yang terjadi beberapa saat sebelum pertandingan?

“Jangan panik, teman-teman,” ujar Jihyo. “Setelah pertandingan, mari kita kunjungi rumah Jungyeon untuk mengucapkan belasungkawa.”

“Itu pasti.” Chaeyoung menyahut. “Masalahnya adalah sekarang siapa yang akan menggantikan posisi Jungyeon eonni?”

Jihyo maju selangkah. Ditatapnya anggotanya satu per satu, seolah berusaha menghilangkan kepanikan serta memberi kekuatan pada mereka.

“Aku,” jawabnya tenang, membuat manik para anggotanya membulat.

Ya! Jihyo-ya!”Nayeon tiba-tiba maju. Obsidiannya menatap Jihyo heran. “Kau lupa akan penyakitmu? Kalau kau pingsan di tengah lapangan bagaimana?”

“Aku kuat, kok!” Jihyo menyahut dengan nada meyakinkan. Tangannya ia letakkan pada bahu Nayeon. “Tak usah khawatir, eonni. Aku akan melakukan yang terbaik. Kalian lupa bahwa aku dulu sering dipuji oleh pelatih karena kemampuan serangan smash-ku?”

Kemudian gadis itu kembali menatap anggota timnya. Bersama-sama mereka meletakkan telapak tangan di tengah, kemudian menyerukan yel-yel dengan suara nyaring.

Bersamaan dengan itu, mereka disadarkan bahwa pertandingan yang sesungguhnya akan segera dimulai.

***

Sejauh ini, permainan TWICE dalam melawan tim SNOW dari sekolah Seung-Ri dapat dibilang cukup baik. Sana terlihat jelas telah meningkatkan responnya terhadap datangnya bola, dan gadis rambut pirang itu selalu siap sedia menangkis bola yang datang agar tidak sampai jatuh ke tanah. Servis dari Chaeyoung sudah jauh lebih baik dibandingkan saat mereka latihan dahulu. Dahyun yang sempat dinilai buruk dalam melakukan passing sekarang sudah mengalami perkembangan. Jihyo menilai itu semua sebagai peningkatan yang baik.

Karena alasan kesehatan, Jihyo tidak diizinkan ikut bertanding untuk babak pertama. Menurut Nayeon, lebih baik Jihyo mengumpulkan tenaga dulu di pinggir lapangan sambil mengamati permainan, baru di babak kedua gadis itu menunjukkan aksinya. Merasa usul Nayeon ada benarnya, Jihyo pun menurut. Dan disinilah ia, duduk di pinggir lapangan dengan manik yang sibuk mengamati permainan anggotanya.

Peluit tanda berakhirnya babak pertama pun dibunyikan. Dengan sigap Jihyo berlari ke tengah lapangan, menghampiri anggotanya dengan membawa beberapa handuk serta botol air mineral dingin. Tangannya dengan lincah menghapus keringat beberapa anggotanya.

“Kerja bagus!” ujar Jihyo sambil memberi tepukan di pundak. “Permainan kalian keren sekali! Sana eonni, responmu terhadap bola yang datang sangat bagus! Dan Chaeyoung-ah, aku suka melihat servismu! Kalian luar biasa!”

Kata-kata sang kapten tim mampu membuat para anggota kembali tersenyum cerah meski sedang kelelahan. Kata-kata itu bagaikan semangat yang mampu membuat raga lebih segar.

Nayeon menegak air mineralnya dalam lima tegukan. Setelah itu ia berujar, “Kau yakin akan bermain setelah ini, Jihyo-ya?”

Jihyo mengangguk tegas. “Tentu saja. Aku akan bergabung dengan kalian di babak ini. Jadi, persiapkan diri kalian. Tetap semangat!”

Peluit dari wasit kembali dibunyikan, tanda babak kedua segera dimulai.Jihyo mengikat rambut panjangnya dengan karet rambut yang selama ini melingkari pergelangan tangannya. Ditariknya napas dalam-dalam, seraya maniknya menatap lapangan yang terbentang di hadapannya.

Ini adalah mimpinya. Mimpi untuk kembali bertanding bersama anggotanya. Mimpi untuk kembali berlari dan melompat, memukul dan menangkis, menyambut bola yang dilemparkan ke arahnya. Mimpi yang sempat ia kubur selama berbulan-bulan, kini ia punya kesempatan untuk kembali mewujudkannya.

Jihyo tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Kau siap?” bisik Nayeon yang rupanya berada dekatnya. Jihyo menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk tegas. Tungkainya melangkah memasuki area pertandingan.

Karena ini adalah babak penentuan pemenang, pertandingan berlangsung lebih ketat dibandingkan babak pertama. Ketangguhan tim lawan tak bisa dipandang sebelah mata. Dibandingkan babak awal, mereka terlihat lebih kuat dan lebih berstrategi. Setiap lemparan bola dari TWICE berhasil mereka tangkis.

Namun hal ini tak memadamkan semangat TWICE. Ketangguhan serta kerja sama mereka juga tak boleh diremehkan. Chaeyoung dengan servisnya, kemudian ditangkis oleh Hyojoo dari SNOW, kemudian dibalas oleh Tzuyu. Terus seperti itu, kedua tim menjaga agar jangan sampai bola menyentuh lantai arena pertandingan.

Ada kalanya di tengah-tengah pertandingan Jihyo merasa napasnya agak berat. Biasanya jika sudah seperti ini Jihyo akan menyiasati dengan berlari ke pinggir lapangan untuk menegak air minum. Namun melihat betapa gigihnya anggota timnya dalam bermain serta bagaimana para penonton bersorak menyerukan nama timnya, rasa sesak di dada Jihyo seolah hilang dan semangatnya kembali lagi. Tak dihiraukannya rasa sakit di dada. Gadis itu tetap menunjukkan pukulan-pukulan cantiknya.

Waktu pertandingan tinggal dua menit lagi. Skor antara TWICE dan SNOW ada dalam keadaan seri. Raut lelah jelas-jelas tergambar pada wajah setiap pemain, tetapi mereka tetap berusaha semangat sampai akhir. Terutama untuk Jihyo. Tak terhitung berapa kali sesak napas menyerangnya, tetapi demi timnya ia mengabaikan itu semua.

Dengan ekor mata Jihyo melirik papan skor yang tertera. Kedudukan skor adalah 16 poin untuk masing-masing tim. Seri. Sementara waktu yang tersedia tinggal empat puluh lima detik lagi. Bukan waktu yang lama untuk membuat sebuah perbedaan skor dan menentukan pemenang.

Shinhye dari SNOW melakukan servis, kemudian ditangkis oleh Sana, lalu dioper dengan over-head pass oleh Yoona dari SNOW, dibalas dengan chest pass oleh Dahyun, setelah itu ditangkis oleh Minah dari tim lawan.

Komentator acara mulai melakukan perhitungan mundur menuju berakhirnya pertandingan. “LIMA! EMPAT!”

Manik Jihyo menangkap arah datangnya bola yang perlahan tapi pasti menghampiri dirinya.

Waktu yang tersisa sangat sedikit. Jihyo harus membuat sesuatu untuk membuat perbedaan skor.

“TIGA!”

Jihyo memejamkan mata sejenak. Sekuat tenaga tungkainya mengangkat tubuh, melompat. Tangannya terangkat tinggi, mengambil ancang-ancang untuk memukul bola voli tersebut.

“DUA!”

PAK!

Gadis itu berhasil melakukan pukulan smash, yang menyebabkan bola jatuh ke lantai dengan cepat tanpa bisa ditangkis oleh tim lawan. Bola voli itu menumbuk lantai bersamaan dengan hitungan ke satu dari sang komentator, satu detik sebelum pertandingan berakhir. Aksi tersebut berhasil membuat perbedaan satu skor lebih tinggi untuk tim TWICE.

Spontan semua orang bersorak, terutama TWICE. Tak ada yang dapat menyembunyikan kegembiraan mereka. Delapan orang tersebut saling merangkul, kemudian melompat bersama-sama. Mereka saling memeluk, bahkan saling meneteskan air mata haru. Senyum bahagia jelas-jelas terpampang di bibir ranum mereka.

Seketika suasana menjadi ramai dengan penentuan juara pertandingan voli kali ini. Para penonton terutama pendukung TWICE ramai-ramai berdiri, berteriak, bertepuk tangan. Semuanya larut dalam kebahagiaan dan sukacita.

Di tengah-tengah seperti itu, Jihyo yang tengah memeluk Dahyun merasakan perlahan kesadarannya menghilang. Dan bisa dipastikan kepalanya akan membentur lantai bila Dahyun dan Nayeon tidak cepat-cepat menahannya.

***

Dahyun, Chaeyoung, dan Tzuyu menatap kotak kaca kecil itu lekat-lekat. Senyum terpampang pada masing-masing ranum mereka. Tiga pasang mata itu menatap satu foto yang berada di dalam kotak. Foto tim TWICE saat kemenangan pertama mereka satu setengah tahun yang lalu. Dimana sang kapten tim mengangkat piala mereka tinggi-tinggi disertai lengkungan bibir bangga.

Dahyun mengetuk kotak kaca itu dua kali dengan telunjuknya. “Annyeong, eonni,” sapa gadis yang telah mengombre rambutnya itu. “Eonni baik-baik saja kan? Apa kabarmu, eonni? Kami di sini sangat rindu padamu.”

“Maafkan kami baru berkunjung sekarang,” Kali ini Chaeyoung yang bersuara. “Dua hari yang lalu kami baru saja mengikuti pertandingan melawan sekolah Baek-Sang, dan tim kita kembali meraih juara. Hebat kan, eonni?”

“Banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu,” lanjut Chaeyoung. “Nayeon eonni ditunjuk sebagai pengganti kapten tim, dan ia memimpin kami dengan baik, walau ia kerap berkata tak pernah bisa sebaik dirimu. Ya, untuk hal itu ia memang benar. Kemudian apa lagi, ya?” Chaeyoung menerawang, berusaha mengingat. “Ah! Sana eonni sekarang sudah mempunyai kekasih. Eonni ingat pemuda tampan yang kerap menjemputnya? Ya! Seungho oppa, ingat? Nah, sekarang mereka sudah berpacaran. Wah, aku iri dengan mereka.”

Tzuyu yang sejak tadi diam saja membisikkan sesuatu pada Chaeyoung, diiringi senyum jahil, membuat gadis berambut pendek itu tertawa geli.

“Dahyun eonni mengecat rambut bawahnya,” Chaeyoung kembali bercerita, mengikuti saran Tzuyu. Tak dihiraukannya sorot mata tajam dari Dahyun. “Dua minggu yang lalu ia terlibat perdebatan dengan pelatih karena cat rambutnya itu. Pelatih memintanya mengecat rambut menjadi kembali hitam, tetapi Dahyun eonni tidak mau. Perdebatan mereka lucu sekali, eonni. Pelatih Kang sampai kejar-kejaran dengan Dahyun eonni karena gemasnya akan bantahan eonni.”

Tzuyu menempelkan buket bunga plastik kecil yang ia bawa di kotak kaca tersebut. “Eonni, kami merindukanmu. Kami merindukan saat-saat kita bersama berlatih, saat-saat dimana kau menyemangati kami. Terima kasih untuk kisahmu yang menguatkan kami. Terima kasih karena telah menjadi panutan bagi kami semua. Kami banyak belajar dari kisah hidupmu, eonni. Terutama tentang bagaimana untuk meraih mimpi-mimpi kami.”

Dahyun melirik jam tangan putih yang melingkari pergelangan tangannya dengan manis. “Oh, sudah jam dua siang! Jungyeon eonni pasti sudah menunggu di tempat latihan. Kalian ingat tentang ia yang akan membawa makan siang dalam rangka hari ulang tahunnya, ya kan? Ayo, kita harus cepat kembali!”

Chaeyoung dan Tzuyu menghapus sebutir dua butir air mata yang mengalir di pipinya untuk sejenak. Kemudian tiga gadis itu mengucapkan selamat tinggal pada plakat yang berada di dalam kotak kaca tersebut, sambil melambaikan tangan.

Plakat putih itu bertuliskan:

 

Rest in Peace

Jihyo

1 Februari 1997 – 5 Mei 2016

 

END

 

Author:

20-10-2015 | Welcome and thank you for visiting Twice Fanfiction Indonesia. This blog dedicated to JYP's new girlgroup Twice, and shared all imagine about them from awesome writers using Bahasa. Please enjoy and give us some love ^^

One thought on “[Cheer Your Dream Up] Until The Last – Oneshot

Onces, beep beep boop~